Review Film: Stuber (2019)

Sebuah film bertema buddy cop kembali muncul dan kali ini hubungan pertemanan sang polisi harus terjalin dengan seorang supir Uber. Yah Uber tuh kayak Grab atau Gojek yang ada di Indonesia gitu. Pertemuan dan hubungan antara si polisi bernama Vic (diperankan oleh Dave Bautista) dengan supir Uber bernama Stu (diperankan oleh Kumail Nanjiani) ini terjalin dalam sebuah film yang dirilis pada bulan Juli yang lalu dengan judul Stuber.


Title: Stuber
Released Date: 12 July 2019 (USA)
Genre: Action - Comedy
Running Time: 93 minutes
Director: Michael Dowse
Writer: Tripper Clancy
Starring: Kumail Nanjiani, Dave Bautista, Iko Uwais


Stuber berkisah tentang Vic, seorang polisi yang baru aja menjalani operasi lasik. Beberapa tahun yang lalu, Vic bersama rekannya ditugaskan untuk ngegrebek seorang buronan bandar narkoba bernama Tedjo, yang diperankan oleh Iko Uwais. Dalam menjalankan tugas mereka itu, sayangnya rekan Vic meninggal dunia saat melakukan pengejaran terhadap Tedjo. Semenjak saat itu, tujuan utama Vic cuma pengen supaya bisa nangkap dan memenjarakan Tedjo. Di sisi lain, ada supir Uber bernama Stu. Stu bekerja di sebuah toko swalayan dan jadi supir Uber sebagai pekerjaan sampingannya. Selama menjadi supir Uber, Stu jarang banget bahkan mungkin ga pernah dapat rating bintang 5 dari pelanggannya. Hal ini bikin dia jadi terobsesi untuk bisa ngasih pelayanan prima supaya dia bisa dapat bintang 5. Vic dan Stu akhirnya bertemu saat Vic memesan Uber, dikarenakan matanya yang rabun pasca menjalani operasi lasik yang membuat dia ga bisa mengenderai mobilnya sendiri. Disinilah konflik dimulai, obsesi Vic yang ingin mengejar Tedjo mau ga mau harus dibantu oleh Stu yang ingin mendapat bintang 5 dari Vic yang menjadi pelanggannya.




Tema buddy cop emang udah cukup pasaran ya. Udah ada banyak deh kayaknya film bertema serupa. Yah kalo harus disebutin mungkin yang paling berkesan sih Rush Hour. Kesuksesan Rush Hour sayangnya ga menular kepada Stuber. Paduan genre action dan komedi dalam Stuber ane rasa terasa nanggung. Adegan action-nya ga begitu intens dan juga terasa biasa aja. Ga ada yang berkesan, makanya bagi ane nanggung banget. Komedinya? Hmm, maaf aja nih bagi ane komedinya sendiri pun juga ikutan nanggung. Ga ada adegan ataupun dialog antar kedua pemain utamanya yang bikin ane ketawa terbahak-bahak. Walaupun memang ada beberapa adegan yang untungnya bisa membuat ane tersenyum. Yah apalah arti komedi kalo cuma bikin ane tersenyum doang. Entah selera humor ane yang bermasalah atau kah mungkin unsur komedi dalam film ini yang bermasalah(?)


Apalah arti film tanpa konflik. Konflik Stuber kayaknya sih cukup remeh ya. Semua terjadi gara-gara masing-masing punya 'obsesi' tersendiri. Stu yang kebelet pengen dapat bintang 5 dan juga pengen cepat-cepat bisa balik supaya dia bisa 'nemenin' teman yang dia taksir sejak lama yang baru aja putus cinta, harus terima nasib untuk nganterin bahkan bantuin Vic untuk bisa nangkap Tedjo. Stu yang begitu polos dan ga biasa dengan aksi penuh kekerasan yang dilakukan Vic terhadap para penjahat ini juga menjadi satu konflik lain untuk Stu sendiri. Nasib sial Stu yang tak berkesudahan saat harus membantu Vic ini nyatanya memancing aksi-aksi lucu yang harusnya mengundang tawa. Tapi ya kembali ke paragraf di atas, komedinya kurang begitu nendang. Tapi, ya boleh kita apresiasi komedi yang mereka bawakan dari sosok Stu ini. Selain itu, Stuber juga kayaknya pengen bikin plot-twist di film ini. Yah, mungkin ane akan menyebutnya sebagai semi plot-twist dikarenakan formula plot-twist yang pengen dihadirkan sudah terlalu pasaran dan terlalu mudah untuk ditebak. Alhasil plot-twistnya cuma sekedar hiasan tak bermakna, tapi meninggalkan kesan. Halaaah, apaan sih ga jelas!




Stuber kayaknya pengen menarik pasar Indonesia supaya banyak yang nonton film ini dengan menggandeng Iko Uwais sebagai sosok antagonist di film ini. Apakah berhasil? Kalo berhasil untuk menarik perhatian warga negara ber-flower ini, mungkin iya. Siapa yang ga kenal Iko Uwais? Banyaaaak~ Wkwkwk, ga deng, becanda aja saya mah. Ketenaran Iko Uwais dan kepiawaian dia dalam beracting di film laga emang udah ga diraguin lagi. Untuk aksi berantem, pukul memukul, atau apapun itu adegan action-nya, Iko udah rajanya deh. Tapi, kalo menurut ane sih Stuber gagal untuk mengembangkan karakter Tedjo. Kehadiran Iko di film ini tuh seolah kayak penampakan setan di video-video paranormal di YouTube. Cuma sekelebat lalu hilang. Kehadiran Iko Uwais cuma bisa kita nikmati di awal film dan menjelang akhir film. Udah, itu aja. Yah walaupun memang durasinya masih lebih lama lah ketimbang penampakan dia di film-film yang lain, tapi tetep aja sih rasanya Iko Uwais jadi mubazir banget. Iko Uwais hanya dijadikan sebagai taktik marketing dari Stuber, ckckck. Tapi ya walaupun demikian, ane tetap apresiasi aksi-aksi yang dihadirkan oleh Iko Uwais di film ini.


Ya sudah, kayaknya segitu aja dulu postingan kali ini. Bagi kamu yang mungkin lagi suntuk dan butuh film yang menghibur, Stuber bisa jadi pilihan kamu. Tapi jangan berharap bisa ketawa ngakak saat nonton film ini. Jadi kalo kamu pengen terhibur, silahkan ditonton. Tapi, kalo kamu pengen sangat amat terhibur banget, mungkin Stuber bisa jadi pilihan terakhir kamu.


Rating versi ane:
Worth to watch? Ditonton boleh, ga juga ga masalah.




No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan jejak kamu lewat komentar dan setiap komentar dari kamu pasti ane balas. Tapi kalo ga dibalas, jangan ngambek ya.